Belajar Agama: Kenapa Justru Jadi Kaku?
Belakangan ini saya sering nemuin fenomena yang cukup mengganggu di sekitar saya — banyak orang yang lagi giat belajar agama, tapi kok justru makin kaku, makin mudah menghakimi, dan terasa makin jauh dari rasa bijak.
Saya lihat sendiri gimana beberapa teman mulai sering update status soal fiqih, soal “ini haram”, “itu bid’ah”, atau “yang bener tuh harus begini, harus begitu.” Agama jadi semacam alat validasi sosial dan pelabelan benar-salah terhadap orang lain. Padahal buat saya pribadi, agama justru seharusnya jadi makanan batin — jalan sunyi untuk bertumbuh secara spiritual, bukan panggung untuk rekrutmen kebenaran atau kompetisi siapa yang paling syar’i.
Saya sadar, mungkin ini karena banyak orang belajar agama dari titik “benar vs salah” — bukan dari “hikmah vs kebijaksanaan”, atau “kasih vs keadilan”. Agama jadi seperti sistem hukum kaku, bukan jalan penyembuhan jiwa. Bahkan terkadang, semakin dalam mereka belajar, semakin sempit ruang toleransi dalam diri mereka sendiri.
Saya pernah di posisi yang sama. Dulu saya juga sempat merasa “lebih tahu” lalu mulai menilai orang lain. Tapi kemudian saya sadar, spiritualitas sejati itu justru bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling lapang.
Salah satu turning point saya adalah ketika saya berpikir: kalau saya bikin aturan di kantor bahwa semua perempuan harus berhijab, lalu bagaimana dengan pegawai non-muslim? Bukankah itu juga bentuk pemaksaan yang mirip dengan toko yang melarang hijab?
Dari situ saya makin sadar — agama harus menjadi rahmat, bukan alat kontrol sosial.
Di sisi lain, kehidupan saya sendiri kadang dianggap “nyeleneh”. Istri saya memakai niqob, sedangkan saya masih suka pakai baju metal, berpenampilan santai, bahkan tetap nongkrong sama teman-teman yang beragam latar. Beberapa teman mengira saya salafi hanya karena penampilan istri saya — padahal realitanya sangat berbeda.
Istri saya pun memilih niqob bukan karena doktrin, tapi dari kesadaran logis dan emosional yang dalam: dia merasa wajah adalah ekspresi emosional yang bisa menciptakan persepsi sosial, dan dia ingin menjaga itu. Sata sendiri nggak pernah nyuruh, nggak pernah maksa. Saya cuma jalani hidup dengan nilai yang saya yakini. Dan kami tumbuh bersama — dalam spiritualitas yang bebas, sadar, dan tanpa paksaan.
Agama yang saya yakini bukan tentang simbol luar, tapi tentang bagaimana kita memperlakukan manusia lain dengan penuh rasa.
Dan mungkin… inilah bentuk spiritualitas yang jarang diajarkan: agama sebagai jalan batin, bukan kotak hukum semata.
Saya percaya, spiritualitas yang sehat bukan soal banyaknya dalil yang kita kuasai, tapi seberapa dalam kita bisa menghadirkan welas asih dalam hidup sehari-hari.
Kadang orang yang paling paham teks, belum tentu paling paham konteks. Kadang yang paling rajin ngoreksi, justru lupa berempati. Dan mungkin, yang paling butuh kita pelajari dari agama adalah seni menjadi manusia, bukan sekadar cara menjadi benar.
Karena pada akhirnya, agama yang membebaskan bukan yang membuat kita sibuk mengatur hidup orang lain — tapi yang menuntun kita pulang ke dalam diri sendiri, dengan hati yang lebih luas, dan jiwa yang lebih tenang.
0 Comments